Ironi dan Ilusi Jawa

B
ahasa menjadi penentu Jawa.Jawa ssebagai pengetahuan juga memungkinkan para Javanalog mengurusi jawa dalam intimitas dengan politik kolonial.Solo merupakan ruang  fenomenal untuk membentuk Jawa.Kekuasaan tradisional dan modern hidup dalam ketegangan kultural-politik.Pemerintah kolonial belanda melalui agen dan institusi intensif memaknai Jawa dalam jeratan bahasa,sastra,seni,ilmu pengetahuan arsitektur,politik pakaian,ekonomi dan gaya hidup.
Gelagat perubahan ini dikisahkan oleh Takashi Shiaishi dalam zaman bergerak:Radikalisme Rakyat  di Jawa 1912-1926(1997).Intervensi colonial tampak dari pembentukan Instituut voor het javaan sche taal (Lembaga Bahasa Jawa)sejak abad XIX.Lembaga iini bermetamorfosis menjadi ruang eksperimen dan pembakuan Jawa melalui perangkat pengetahuan dengan pengesahan akademik di Universitas Leiden,Belanda.Bahasa Jawa model Solo pun ukuran baku.
Orang jawa belajar Jawa untuk menemukan “Harta Karun”justru harus pergi kesarang javanalog di Belanda.Bahasa sebagai operasionalisasi kekuasaan dan cultural telah luput dari orang jawa sendiri.kolonial menjadi tuan .Bahasa bisa digunakan untuk menundukan Jawa biar tak mengekspresikan resistensi atau revolusi.Proyek membentuk Jawa mendapati sokongan dari keratin,priayi,dan elite politik.Anak-anak dari Raja dikirim belajar ke Belanda untuk mandalami budaya Jawa.

Nasib Bahasa yang Sekarat
Jawa terus bergerak sampai hari ini dengan lupa dan luka.Bahasa Jawa tertinggal.Sastra Jawa tanpa sapaan.Tradisi Jawa dalam balutan ilusi colonial merana.Keprihatinan ini pun secara intensif dilaporkan pada Negara,lalu disodorkan pada public agar menjadi beban.Agenda-agenda untuk penyelamatan atau menghidupkam kembali Jawa digulirkan dengan modal besar,kebijakan politik.dan seruan.Salah satu agenda besar adalah rutinitas pelaksanaan kongres Bahasa Jawa yang tidak memperlihatkan geliat kemajuan.
Rekomendasi dari perhelatan prestisius ini sedikit sekali teraplikasi atau mengindikasikan pencerahan pikiran.Karena beberapa kesalahan mendasar,seperti ditempatkanya satra Jawa hanya sebagai wacana pinggiran atau catatan kaki.Peminggiran peran ini menciptakan resistensi dikalangan para pekerja sastra Jawa.Mereka yang kemudian meranang kongres sastra Jawa,dengan modal  seadanya dan dengan parhatian nol dari penguasa.Negara menjadi salah satu pelupa terbesar ,dengan mengabsenkan sastra Jawa dari perhatianya.Bahkan anak zaman sekarang yang terlahir sebagai Jawa banyak yang tidak paham akan bahasa suku mereka.Hanya anak-anak yang tinggal dipulau jawa dan lingkungan jawa saja yang mengerti.Ada beberapa faktor yang bisa dijadikan alas an mengapa budaya Jawa memudar,ini karenakan faktor lingkungan tempat tiggal,orang tua yang berbeda suku dan bahkan kesalahan orang tua yang tidak mengajarkan budaya Jawa kepada anak mereka.Banyak orang-orang bahkan anak-anak yang bersuku jawa tidak tahu begitu banyak tentang budaya mereka ,mereka hanya sekedar tau bahasa saja ini karenakan tempa tinggal mereka yang jauh dari budaya Jawa.ini karenakan mereka yang bertempat tinggal selain dipulau Jawa mereka hanya mengetahui sedikit –sedikit budaya mereka dan budaya tempat mereka tinggal.
Dan kritik pantas terus diajukan karena nasib Bahasa dan sastra Jawa masih sekarat.Pembelajaran bahasa Jawa disekolah tampak setengah hati.Penerbitan buku-buku sastra Jawa macet.Kejawaan pun terhimpit oleh keindonesiaan dan kosmopolitanisme.Jawa terkapar dalam sandiwara penyelamatan birokrat dan kaum akademisi.


Sumber:
BANDUNG MAWARDI,pengelola balai satra kecapi solo
Harian KOMPAS,sabtu,22 januari 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
Selamat datang di blog saya.